Salam Pembuka

Assalamu'alaikum....Ahlan Wa Sahlan Fii Huduurikum...

Senin, 26 November 2012

pengambilan keputusan




PENGAMBILAN KEPUTUSAN 


Aktifitas yang sukses harus melewati tahapan-tahapan yang teratur sebagai berikut: Gharizah/haajaah ‘udwiyyah ---- madhar ---- ihsas ----waqi’----tafkir---- aktifitas untuk mendapatkan salah satu empat qiimah di atas.
            Di sana ada tempat pemisah antara tafkir dan aktivitas yaitu tahapan pengambilan keputusan yang tajam.
            Kadang-kadang seorang muslim setelah berfikir atas asas-asas Islam di dalam suatu aktifitas yang akan dilaksanakan, dan qiimah yang akan diwujudkan mengalami keraguan dalam pelaksanaan, dan sering masalah ini menyangkut pelaksanaan suatu aktifitas yang penting, baik bagi pelaku itu sendiri ataupun kepada yang lain, terutama di dalam persoalan nasib hidup.
            Maka manusia akan berhenti setelah berfikir sebelum melaksanakan aktifitas karena adanya perselisihan dan pertentangan di dalam pemikiran, dilaksanakan aktifitas ini atau tidak?
            Untuk menerangkan di atas, kami suguhkan kisah sepasukan sahabat Rasulullah secara ringkas pada hari kembali dari suatu peperangan:
            Datang kepada Rasulullah setelah perang uhud, kabilah ‘Udhol dan Qooroh dua kabilah dari Arab, lalu mereka berkata: “Wahai Rasulullah banyak diantara kami sebagai muslim, maka utuslah beberapa orang dari Sahabat rasul kepada kami, agar kami bisa memperdalam agama, membaca Al-Qur’an dan menyampaikan Syariat Islam.”
            Maka Rasulullah mengutus enam sahabat yang berangkat bersama kabilah itu. Mereka adalah shahabat Martsad al-Ghonawy, Khaalid bin al-Bakir, ‘Aashim bin Tsaabit, Thaariq bin Abdullah, Khubaib bin ‘Adiy, Zaid bin al-Datsnah, dengan dipinpin oleh Martsad al-Ghonawy.
            Lalu mereka keluar menuju ke daerah dua kabilah tersebut, ketika mereka berada di daerah Raaji’ yang berada disebelah Hijaz, kelompok dari kabilah tersebut menipu kepada para shahabat, ditangan mereka memegang senjata, maka dengan sigap para sahabat menghunus senjatanya untuk memerangi mereka, akan tetapi para musyrikin itu berkata:”Demi Allah kami tidak berkehendak membunuh anda sekalian, kami hanya ingin menjaga anda dari gangguan ahli Makkah, atas kamu janji Allah yang kuat bahwa kami tidak akan membunuh anda sekalian.”
            Maka Murtsad al-Ghonawy, Khaalid bin al-Bakir serta ‘Ashim bin tsabit berkata kepada para musyrik: “Demi Allah kami tidak akan menerima janji dan aqod dari kaum musyrik, kemudian ‘Ashim bin Tsaabit bersyair:

Tiada kekurangan bagi saya yang mencegah untuk memerangi kamu, karena saya adalah orang kuat, sebagai pemanah yang ulung.
            Satu anak panah dari tali panah yang sangat kuat
            Yang akan meluncur dari muka besur mata panah yang lebar dan panjang

Mati itu haq (pasti datang) sedangkan hidup itu bathil (penuh tipuan)
            Dan setiap apa yang ditetapkan Allah pasti terjadi
            Dari orang per orang akan kembali kepada-Nya
Jika aku tidak membunuhmu maka ibuku akan kehilangan anaknya (tiada keberanian untuk menjadi mujahid)

Maka Martsad al-Ghonawy, “Ashim bin Tsaabit dan Khaalid bin al-bakir memerangi mereka hingga terbunuh shahid para sahabat itu, sedangakan tiga sahabat yang lain : Zaid bin Datsnah dan Hubaib bin ‘Ady dan Thaariq bin Abdullah mereka lemah dan tipis serta senang hidup, maka menyerahlah mereka lalu ditawan oleh kaum musyrik itu.
Lalu para sahabat itu dikeluarkan untuk dijual kepada penduduk Makkah, ketika sampai di daerah Dhohron, “Abdullah bin Thaariq memutus tali yang mengikat tangannya, kemudian  mengambil pedangnnya, orang-orang yang ada disekitarnya takut lalu mundur dengan melempari kepada Abdullah bin thaariq dengan batu hingga syahidlah beliau.
            Sedangkan yang dua lagi dijual kepada penduduk Makkah dan tidak lama kedua sahabat itu dibunuh oleh penduduk Makkah.
            Kisah enam shahabat diatas memberikan kita tiga contoh dalam mengambil keputusan yang tajam dalam suatu keadaan.
1.      Contoh pertama, yang terjadi pada Mustsad al-Ghonawy sebagai pemimpin pasukan serta sahabatnya Khalid bin al-Bakir dan ‘Ashim bin Tsaabit. Menghadapi kondisi keterkejutan para sahabat berfikir dan terlintas secara cepat dalam proses berfikirnya, yakni para sahabat mengambil keputusan yang tegas dan tajam sebelum melakukan aktifitas, keputusan ini jelas dengan ucapan beliau: “Demi Allah kami tidak akan menerima janji dan aqod orang musyrik selama-lamanya”’ juga dari syair ‘Ashim bin tsaabit.
2.      Contoh kedua terlihat dari keputusan Thaariq bin ‘Abdullah, yang pada mula pertama menyerah, kemudian dijadikan tawanan dan diikat tangannya dengan tali. Kemudian pada keputusan yang kedua yaitu dia meniru keputusan pemimpinnya yakni Murtsad al ghonawy dengan melepas tangannnya dari ikatan, dan mengeluarkan senjata untuk memerangi kaum musyrik yang akhirnya beliau dilempari batu oleh kaum musyrik sehingga mati syahid.
3.      Contoh ketiga terlihat dari keputusan Hubaib bin ‘Ady dan Zaid bin Datsnah yang menerima untuk ditawan, kemudian dua shahabat tadi dibunuh sebagai balas dendam orang musyrik kepada orang kafir karena kekalahan mereka pada perang badar dan sungguh mereka telah menghadapi maut dengan jiwa yang berani dan hati yang tenang dengan qadla Allah.
Zaid bin Datsnah berkata sebagai tolakan atas pernyataan yang diajukan oleh abu Sufyan: “Demi Allah saya tidak rela Muhammad SAW sekarang ada di tempat yang banyak durinya dan menyakitinya, sedang saya dalam keadaan duduk berada dalam keluargaku (Rasulullah dalam keadaan banyak gangguan dan Zaid bin Datsnah dalam keadaan tidak menolong.Pen).
Juga Hubaib bin ‘Ady setelah shalat 2 rakaat sebelum dibunuh berkata: “Demi Allah andaikata kamu sekalian tidak menyangka saya menunda kegelisahan dari pembunuhan dengan shalat, tentu saya akan memperbanyak shalat.”
Semua shahabat enam tadi mati shahid dijalan Allah, akan tetapi keputusan yang mereka ambil berbeda walaupun dalam kondisi, tempat dan masalah yang sama, perbedaan itu didasarkan atas pemikiran para shahabat sebelum melakukan aktifitas.
Setelah tahu kisah mereka di dalam mengambil keputusan yang tajam dalam kondisi dan masalah yang sama seperti yang dialami sahabat, tentu kita memilih keputusan yang pertama yang diambil oleh pemimpin pasukan dan dua sahabatnya. Karena mereka lebih teliti dan cermat dari yang lain di dalam memahami karakter kaum musyrikin yang tidak pernah memelihara dan menepati janji dan aqod jadi Murtsad al-Ghonawy dan dua sahabat lainnya telah mengetahui sinyal-sinyal maksud kaum musyrikin lebih cepat dari sahabat yang lain.
Dan hal ini tidak bermaksud bahwa keputusan yang diambil Thaariq bin ‘Abdullah adalah haram atau menyerahnya Hubaib bin ‘Ady dan Zaid bin Datsnah juga haram karena mereka semuah telah mengambil keputusan setelah pengerahan kemampuan akalnya di dalam memahami dan menghukumi situasi yang terjadi yang tentu pemahaman tersebut didasarkan atas hukum syara’.
Maka seorang muslim setelah mengindera realitas, harus memikirkan realitas yang diindera, kemudian mengambil keputusan yang sesuai didasarkan atas hukum syara’ yang dihubungkan situasi dan realitas, kemudian melaksanakan atau menahan suatu aktifitas untuk mewujudkan qiimah yang telah ditentukan syara’ pada aktifitas ini.
Firman Allah:
“Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah.”(QS.Ali ‘Imran 159).
            Maka setelah mengambil penegakkan pemikiran yang benar dan menghukumi realitas yang dihadapi, seorang muslim harus menetapkan keputusan yang tegas dan tajam, yaitu kebulatan tekad untuk melaksanakan aktifitas dengan bertawakal kepada Allah.
            Pengambilan keputusan yang tegas dan tajam yang sesuai adalah perkara yang sangat penting di dalam kehidupan individu dan umat, keputusan yang ditetapkan Hamzah pada hari masuk Islamnya adalah contoh keputusan dari kehidupan Hamzah yang berani dan tepat, serta keputusan Abu bakar di dalam memerangi orang yang tidak mau berzakat contoh juga keputusan yang tajam dari kehidupan daulah yang masih muda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar