PENGAMBILAN KEPUTUSAN
Aktifitas yang sukses harus melewati tahapan-tahapan yang
teratur sebagai berikut: Gharizah/haajaah ‘udwiyyah ---- madhar ---- ihsas
----waqi’----tafkir---- aktifitas untuk mendapatkan salah satu empat qiimah di
atas.
Di
sana ada tempat pemisah antara tafkir dan aktivitas yaitu tahapan pengambilan
keputusan yang tajam.
Kadang-kadang
seorang muslim setelah berfikir atas asas-asas Islam di dalam suatu aktifitas
yang akan dilaksanakan, dan qiimah yang akan diwujudkan mengalami keraguan
dalam pelaksanaan, dan sering masalah ini menyangkut pelaksanaan suatu
aktifitas yang penting, baik bagi pelaku itu sendiri ataupun kepada yang lain,
terutama di dalam persoalan nasib hidup.
Maka
manusia akan berhenti setelah berfikir sebelum melaksanakan aktifitas karena
adanya perselisihan dan pertentangan di dalam pemikiran, dilaksanakan aktifitas
ini atau tidak?
Untuk
menerangkan di atas, kami suguhkan kisah sepasukan sahabat Rasulullah secara
ringkas pada hari kembali dari suatu peperangan:
Datang
kepada Rasulullah setelah perang uhud, kabilah ‘Udhol dan Qooroh dua kabilah
dari Arab, lalu mereka berkata: “Wahai Rasulullah banyak diantara kami sebagai
muslim, maka utuslah beberapa orang dari Sahabat rasul kepada kami, agar kami
bisa memperdalam agama, membaca Al-Qur’an dan menyampaikan Syariat Islam.”
Maka
Rasulullah mengutus enam sahabat yang berangkat bersama kabilah itu. Mereka
adalah shahabat Martsad al-Ghonawy, Khaalid bin al-Bakir, ‘Aashim bin Tsaabit,
Thaariq bin Abdullah, Khubaib bin ‘Adiy, Zaid bin al-Datsnah, dengan dipinpin
oleh Martsad al-Ghonawy.
Lalu
mereka keluar menuju ke daerah dua kabilah tersebut, ketika mereka berada di
daerah Raaji’ yang berada disebelah Hijaz, kelompok dari kabilah tersebut
menipu kepada para shahabat, ditangan mereka memegang senjata, maka dengan
sigap para sahabat menghunus senjatanya untuk memerangi mereka, akan tetapi
para musyrikin itu berkata:”Demi Allah kami tidak berkehendak membunuh anda
sekalian, kami hanya ingin menjaga anda dari gangguan ahli Makkah, atas kamu
janji Allah yang kuat bahwa kami tidak akan membunuh anda sekalian.”
Maka
Murtsad al-Ghonawy, Khaalid bin al-Bakir serta ‘Ashim bin tsabit berkata kepada
para musyrik: “Demi Allah kami tidak akan menerima janji dan aqod dari kaum
musyrik, kemudian ‘Ashim bin Tsaabit bersyair:
Tiada kekurangan bagi saya
yang mencegah untuk memerangi kamu, karena saya adalah orang kuat, sebagai
pemanah yang ulung.
Satu
anak panah dari tali panah yang sangat kuat
Yang
akan meluncur dari muka besur mata panah yang lebar dan panjang
Mati itu haq (pasti datang)
sedangkan hidup itu bathil (penuh tipuan)
Dan
setiap apa yang ditetapkan Allah pasti terjadi
Dari
orang per orang akan kembali kepada-Nya
Jika aku tidak membunuhmu
maka ibuku akan kehilangan anaknya (tiada keberanian untuk menjadi mujahid)
Maka
Martsad al-Ghonawy, “Ashim bin Tsaabit dan Khaalid bin al-bakir memerangi
mereka hingga terbunuh shahid para sahabat itu, sedangakan tiga sahabat yang
lain : Zaid bin Datsnah dan Hubaib bin ‘Ady dan Thaariq bin Abdullah mereka
lemah dan tipis serta senang hidup, maka menyerahlah mereka lalu ditawan oleh
kaum musyrik itu.
Lalu para
sahabat itu dikeluarkan untuk dijual kepada penduduk Makkah, ketika sampai di
daerah Dhohron, “Abdullah bin Thaariq memutus tali yang mengikat tangannya,
kemudian mengambil pedangnnya,
orang-orang yang ada disekitarnya takut lalu mundur dengan melempari kepada
Abdullah bin thaariq dengan batu hingga syahidlah beliau.
Sedangkan
yang dua lagi dijual kepada penduduk Makkah dan tidak lama kedua sahabat itu
dibunuh oleh penduduk Makkah.
Kisah
enam shahabat diatas memberikan kita tiga contoh dalam mengambil keputusan yang
tajam dalam suatu keadaan.
1.
Contoh pertama, yang terjadi pada Mustsad al-Ghonawy
sebagai pemimpin pasukan serta sahabatnya Khalid bin al-Bakir dan ‘Ashim bin
Tsaabit. Menghadapi kondisi keterkejutan para sahabat berfikir dan terlintas
secara cepat dalam proses berfikirnya, yakni para sahabat mengambil keputusan
yang tegas dan tajam sebelum melakukan aktifitas, keputusan ini jelas dengan
ucapan beliau: “Demi Allah kami tidak akan menerima janji dan aqod orang
musyrik selama-lamanya”’ juga dari syair ‘Ashim bin tsaabit.
2.
Contoh kedua terlihat dari keputusan Thaariq bin
‘Abdullah, yang pada mula pertama menyerah, kemudian dijadikan tawanan dan
diikat tangannya dengan tali. Kemudian pada keputusan yang kedua yaitu dia
meniru keputusan pemimpinnya yakni Murtsad al ghonawy dengan melepas tangannnya
dari ikatan, dan mengeluarkan senjata untuk memerangi kaum musyrik yang
akhirnya beliau dilempari batu oleh kaum musyrik sehingga mati syahid.
3.
Contoh ketiga terlihat dari keputusan Hubaib bin ‘Ady
dan Zaid bin Datsnah yang menerima untuk ditawan, kemudian dua shahabat tadi
dibunuh sebagai balas dendam orang musyrik kepada orang kafir karena kekalahan
mereka pada perang badar dan sungguh mereka telah menghadapi maut dengan jiwa
yang berani dan hati yang tenang dengan qadla Allah.
Zaid bin
Datsnah berkata sebagai tolakan atas pernyataan yang diajukan oleh abu Sufyan:
“Demi Allah saya tidak rela Muhammad SAW sekarang ada di tempat yang banyak
durinya dan menyakitinya, sedang saya dalam keadaan duduk berada dalam
keluargaku (Rasulullah dalam keadaan banyak gangguan dan Zaid bin Datsnah dalam
keadaan tidak menolong.Pen).
Juga Hubaib
bin ‘Ady setelah shalat 2 rakaat sebelum dibunuh berkata: “Demi Allah andaikata
kamu sekalian tidak menyangka saya menunda kegelisahan dari pembunuhan dengan
shalat, tentu saya akan memperbanyak shalat.”
Semua
shahabat enam tadi mati shahid dijalan Allah, akan tetapi keputusan yang mereka
ambil berbeda walaupun dalam kondisi, tempat dan masalah yang sama, perbedaan
itu didasarkan atas pemikiran para shahabat sebelum melakukan aktifitas.
Setelah
tahu kisah mereka di dalam mengambil keputusan yang tajam dalam kondisi dan
masalah yang sama seperti yang dialami sahabat, tentu kita memilih keputusan
yang pertama yang diambil oleh pemimpin pasukan dan dua sahabatnya. Karena
mereka lebih teliti dan cermat dari yang lain di dalam memahami karakter kaum
musyrikin yang tidak pernah memelihara dan menepati janji dan aqod jadi Murtsad
al-Ghonawy dan dua sahabat lainnya telah mengetahui sinyal-sinyal maksud kaum
musyrikin lebih cepat dari sahabat yang lain.
Dan hal ini
tidak bermaksud bahwa keputusan yang diambil Thaariq bin ‘Abdullah adalah haram
atau menyerahnya Hubaib bin ‘Ady dan Zaid bin Datsnah juga haram karena mereka
semuah telah mengambil keputusan setelah pengerahan kemampuan akalnya di dalam
memahami dan menghukumi situasi yang terjadi yang tentu pemahaman tersebut
didasarkan atas hukum syara’.
Maka
seorang muslim setelah mengindera realitas, harus memikirkan realitas yang
diindera, kemudian mengambil keputusan yang sesuai didasarkan atas hukum syara’
yang dihubungkan situasi dan realitas, kemudian melaksanakan atau menahan suatu
aktifitas untuk mewujudkan qiimah yang telah ditentukan syara’ pada aktifitas
ini.
Firman
Allah:
“Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila
kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah.”(QS.Ali ‘Imran 159).
Maka
setelah mengambil penegakkan pemikiran yang benar dan menghukumi realitas yang
dihadapi, seorang muslim harus menetapkan keputusan yang tegas dan tajam, yaitu
kebulatan tekad untuk melaksanakan aktifitas dengan bertawakal kepada Allah.
Pengambilan
keputusan yang tegas dan tajam yang sesuai adalah perkara yang sangat penting
di dalam kehidupan individu dan umat, keputusan yang ditetapkan Hamzah pada
hari masuk Islamnya adalah contoh keputusan dari kehidupan Hamzah yang berani
dan tepat, serta keputusan Abu bakar di dalam memerangi orang yang tidak mau
berzakat contoh juga keputusan yang tajam dari kehidupan daulah yang masih
muda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar